Kamis, 12 Maret 2009

PETUALANGAN JIWA: Sebuah Langkah Awal Dalam Meniti Jalan Cinta Menurut Perspektif ‘Attar dalam Mantiq at-Tayr


By Nanik Y.

PENDAHULUAN

Jiwa, sebuah kata yang mengandung banyak misteri di dalamnya. Begitu banyak alegori yang melambangkan tentang jiwa, terlebih jiwa manusia, salah satunya adalah ‘Attar, yang menggambarkan jiwa manusia sebagi burung-burung yang melakukan sebuah pencarian menuju sebuah kebenaran sejati.

Dalam makalah ini, saya mencoba untuk menghubungkan antara perumpamaan yang disampaikan oleh ‘Attar dengan kaitannya terhadap Cinta Ilahi. Yang pada dasarnya, perumpamaan yang disampaikan oleh ‘Attar tersebut, juga merupakan sebuah proses bagi jiwa manusia dalam mencapai Cinta Ilahi serta kebenaran yang hakiki.

Tulisan ini terbagi dalam beberapa kerangka bagian, yang tersusun berdasarkan sistematika sebagai berikut: Bagian pertama mengetengahkan sekilas tentang ‘Attar, sang perangkai Mantiq at-Tayr. Bagian kedua memberikan sedikit gambaran mengenai Mantiq at-Tayr karya ‘Attar. Bagian ketiga mencoba mengungkap sedikit makna yang terkandung dalam proses perjalanan burung-burung, yang terkemas dalam Mantiq at-Tayr. Bagian keempat mencoba menghubungkan antara alegori karya ‘Attar ini, dengan suatu proses meniti jalan cinta menuju Ilahi.

SEKILAS MENGENAI ‘ATTAR

Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim, atau yang lebih sering dikenal dengan al-`Attar (yang artinya adalah pembuat minyak wangi dan obat-obatan), ia lahir pada tahun 1120 di Nisyapur, ia juga adalah seorang sufi dan sastrawan besar persia pada sekitar abad ke-12 dan 13 M. Karyanya, yaitu Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) dianggap sebagai salah satu karya terbesar dalam sejarah sastra Islam, serta diterima secara luas di hampir seluruh belahan dunia.

Selain sebagai seorang sufi yang juga merangkap sebagai sastrawan, ia juga dikenal sebagai seorang ahli obat-obatan dan saudagar minyak wangi yang cukup berada, itulah sebabnya, ia lebih dikenal dengan nama ‘Attar. Kisah perjalanan hidupnya berubah dan bermula ketika pada suatu hari, datanglah seorang fakir lanjut usia ke toko minyak wanginya. Melihat seorang fakir yang dikiranya akan mengemis itu, `Attar segera bangkit dari tempat duduknya, menghardik dan mengusirnya agar pergi meninggalkan tokonya. Kemudian, fakir itu menjawab, “Jangankan meninggalkan tokomu, meninggalkan dunia dan kemegahannya ini pun, tidaklah sulit bagiku! Tetapi, bagaimana dengan kau? Dapatkah kau meninggalkan kekayaanmu, tokomu dan dunia ini?” `Attar tersentak, lalu menjawab spontan, “Bagiku juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini!”

Seketika itu pula, fakir lanjut usia tersebut menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah menguburkan fakir itu sebagaimana seharusnya, `Attar menyerahkan penjagaan toko-tokonya yang melimpah di Nisyapur kepada sanak-saudaranya, sedangkan dia sendiri, tanpa membawa sepeser pun uang, ia mengembara ke seluruh negeri untuk menemui para guru tasawuf. Beberapa tahun kemudian, ketika usianya mencapai 35 tahun, dia kembali ke tanah kelahirannya tersebut, namun, sebagai seorang ‘Attar yang berbeda, yaitu, seorang ‘Attar yang pada awalnya hanyalah seorang pemilik toko minyak wangi dan obat-obatan besar, kini juga telah menjadi seorang guru kerohanian yang cukup bernama besar. Kemudian, selain memberikan pelatihan-pelatihan kerohanian serta mendirikan beberapa sekolah, dia juga tetap melanjutkan profesinya sebagai ahli obat-obatan dan saudagar minyak wangi.

Salah satu kemahiran `Attar yang telah lama dikenal oleh penduduk Nisyapur, adalah kemahirannya bercerita. Ia sering melayani pasien-pasien dan pelanggannya dengan bercerita, sehingga secara langsung cerita–cerita tersebut pun memikat mereka. Ketika tokonya sedang sepi dengan pelanggan, dia pun

menyempatkan dirinya untuk menulis cerita. Di antara karya-karyanya yang terkenal ialah Thadkira al-`Awlya (Anekdote Para Wali), Ilahi-namah (Kitab Ketuhanan), Musibat-namah (Kitab Kemalangan) dan Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung), yang secara lebih lanjutnya akan saya bahas pada bait demi bait kata berikutnya.

MANTIQ AT TAYR

Salah satu karya terbesar ‘Attar adalah Mantiq at-Tayr, yaitu musyawarah para burung. Di dalamnya, ‘Attar menggambarkan secara simbolik mengenai penapakan jalan kerohanian atau tasawwuf yang dapat ditempuh melalui tujuh lembah, yaitu: lembah pencarian (talab), lembah cinta (`isyq), lembah kearifan (ma`rifah), lembah kebebasan atau kepuasan hati (istighna), lembah kesaksian kalbu mengenai ke-Esa-an Allah (tauhid), lembah ketakjuban (hayrat), serta lembah kefakiran (faqr) dan (fana`).

Namun, `Attar menganggap bahwasanya jalan-jalan tasawuf yang dimaksud sebenarnya adalah merupakan jalan cinta, sedangkan ke-tujuh lembah yang dimaksud, tidak lain adalah keadaan-keadaan yang berkaitan dengan cinta. Misalnya, ketika seseorang memasuki lembah pencarian. Cintalah yang pada dasarnya mendorong seseorang yang bersangkutan untuk melakukan pencarian. Sedangkan lembah-lembah lainnya adalah merupakan tahapan berikutnya yang sekiranya akan dicapai dalam jalan cinta tersebut.

Mantiq al-Tayr, adalah sebuah alegori sufi yang menceritakan tentang penerbangan para burung dalam proses pencariannya akan sosok seorang raja, yang berada di puncak gunung Qaf, yang mereka sebut sebagai Simurgh. Dalam pencarian tersebut para burung dipimpin oleh Burung Hud hud.

Lembah pertama yang dilalui oleh burung-burung tersebut, adalah lembah pencarian (talab). Di lembah ini, seseorang atau jiwa manusia yang dilambangkan dengan burung-burung, diharuskan untuk memiliki cinta dan harapan, karena dengan kedua hal tersebutlah, seseorang dapat bertindak lebih sabar dalam menghadapi rintangan serta godaan yang dijumpainya. Dalam lembah ini juga, ia harus melepaskan kecintaannya akan dunia dan jasmani. Dengan demikian, ketika ia berhasil melakukannya, ia akan merasakan kerinduan yang amat sangat terhadap-Nya, serta rela mengabdikan diri kepada-Nya. Setelah itu, dengan sendirinya, ia akan berada dalam naungan Cinta, serta diberikan anugerah dengan menyaksikan cahaya Keagungan Tuhan.

Lembah yang Kedua, yaitu lembah Cinta (isyq). Di sini, `Attar melambangkan cinta sebagai api yang terang, yaitu mata batin yang dapat menembus bentuk-bentuk jasmani dan menyikap rahasia yang terdapat dalam ciptaan. Sedangkan, ‘Attar melambangkan pikiran (akal) sebagai asap yang mengaburkannya. Sehingga, cinta yang sejati dapat menyingkap apa yang ada di balik asap tersebut.

Berkaitan dengan hubungan antara cinta dan pikiran (akal) ini, Syah Nikmatullah Wali memberikan sumbangsihnya dalam mengartikan bahwa cinta dan pikiran (akal), adalah ibarat dua sayap yang berasal dari satu burung yang sama, yaitu yang disebut dengan jiwa. Ia berkata:

Akal dipakai untuk memahami

Keadaan manusia selaku hamba-Nya

Cinta untuk mencapai kesaksian

Bahwa Tuhan itu Satu[1]

Di lembah Cinta ini, ada begitu banyak cobaan serta ujian, yang dapat menyesatkan seseorang. Hanya petunjuk Tuhan lah, yang dapat menyelamatkannya dari bahaya. Namun, petunjuk tersebut hanya akan datang berdasarkan ikhtiyar dan doa yang dipanjatkan, baik oleh dirinya sendiri, maupun oleh orang lain. Seperti halnya yang terdapat dalam kisah Syekh San’an dan gadis yunani yang beragama nasrani.

Lembah Ketiga, yaitu lembah kearifan (ma’rifah). Kearifan adalah sebuah pengetahuan yang berisi tentang Zat Yang Abadi, dengan demikian, ia akan selalu terjaga kesadarannya tentang Tuhan Yang Satu. Dengan adanya kearifan, seseorang akan dapat selalu terjaga dari adanya tipu muslihat, serta waspada terhadap kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya.

Seseorang yang telah berhasil mencapai makrifat, akan menerima cahaya sesuai dengan usaha yang telah dilakukannya, serta akan mengenal kebenaran Ilahi. Orang yang telah mengenal hakekat segala sesuatu, akan memandang dunia melalui penglihatan hatinya yang telah tercerahkan, serta tidak lagi terpaku pada sesuatu yang tidak berguna, karena perhatiannya telah tertuju sepenuhnya terhadap yang Hakiki.

Lembah Keempat, yaitu lembah kebebasan atau kepuasan hati (istighna). Di lembah ini, tidak ada lagi nafsu dan keinginan-keinginan pribadi maupun duniawi yang dapat memenuhi jiwa seseorang, karena pandangannya telah tercerahkan oleh kehadiran Ilahi. Di sini, seseorang telah merasa tercukupi dengan adanya rahmat yang telah dilimpahkan Tuhan kepadanya. Untuk mencapai tingkat ini, seseorang harus mengganti segala keraguan yang ada dengan keteguhan iman (haqq al-yaqin).

Lembah Kelima, yaitu lembah kesaksian kalbu mengenai ke-Esa-an Allah (Tauhid). Di lembah ini, seseorang menyadari bahwa sebenarnya hakekat wujud yang beraneka ragam itu sebenarnya satu, yaitu manifestasi Cinta Yang Satu, rahman dan rahim-Nya. Dan, segala sesuatu yang kelihatannya berbeda, terlihat bahwasanya semuanya berasal dari hakekat yang sama. Meskipun, pada awalnya ia melupakan segalanya, namun selanjutnya, ia akan menyadari bahwasanya ia selalu bersama dengan Tuhan Yang Esa.

Ralph Waldo Emerson, dalam The Celestial Love, menyatakan:

Hendaknya engkau meratapi cinta;

Di dalam bayangan, yang darinya semuanya terbentuk

Ke dalam satu bentuk, kemudian semuanya melebur……

Membimbing dunia dengan ikatan dan persyaratan;

Dimana hal-hal yang tidak sama menjadi serupa;

Di mana kebaikan dan keburukan,

Pekik kegembiraan dan rintih kesedihan,

Melebur menjadi satu.[2]

Lembah Keenam, yaitu lembah ketakjuban (Hayrat). Di lembah ini, kita akan tenggelam dalam sebuah ketakjuban yang amat sagat, yang karenanya, seolah-olah kita berada dalam suatu kebingungan. Siang seakan menjadi malam, dan malam seakan menjadi siang. Kesusahan dan kebahagiaan seakan sulit untuk dibedakan. Dan segala sesuatunya menjadi semakin tak jelas batasannya.

Lembah Ketujuh, yaitu lembah kefakiran (Faqir) dan (Fana). Faqir, adalah suatu kesadaran bahwasanya dia tidaklah memiliki sesuatu apapun kecuali cinta kepada-Nya. Namun demikian, hal ini tidaklah mengindikasikan bahwasanya seorang faqir sama sekali tidak memperdulikan segala seuatu selain-Nya, melainkan, ia menandang segala sesuatunya dengan tetap merujuk kepada-Nya. Dengan adanya kefakiran, seseorang mampu memaknai setiap kejadian yang terjadi dalam kehudupannya, dengan tidak hanya terpaku pada makna formal semata.

Dalam akhir kisah pencarian ini, ‘Attar menuliskannya sebagai berikut: “Tahukah kau apa yang kaumiliki? Masuklah ke dalam dirimu sendiri dan renungkan ini. Selama kau tak menyadari kehampaan dirimu, dan selama kau tak meninggalkan kebanggan diri yang palsu, serta kesombongan dan cinta diri yang berlebihan, kau tidak akan mencapai puncak keabadian. Di jalan tasawuf kau mula-mula akan dicampakkan ke dalam lembah kehinaan, kemudian baru kau akan diangkatnya ke puncak gunung kemuliaan”.

MAKNA DI BALIK MANTIQ AT-TAYR

Mantiq at-tayr, merupakan sebuah perumpamaan yang menggambarkan dan menceritakan keadaan rohani dan pengalaman mistik seorang sufi, yang juga adalah sebuah proses pencarian dalam menempuh jalan tasawuf. Burung-burung, yang melakukan perjalanannya dalam mantiq at-tayr tersebut, adalah menggambarkan jiwa manusia yang merindu akan Tuhannya serta akan hakikat dirinya yang hakiki. Yang pada dasarnya, jiwa yang bersangkutan itu mampu untuk terbang mengembara menuju alam lain di luar tubuh dan fikiran manusia itu sendiri, seperti halnya burung yang dapat terbang melalui kedua sayapnya.

Menurut para sufi, jiwa manusia adalah bagaikan seekor burung yang memiliki dua sayap, yaitu akal dan cinta (kalbu). Yang pada dasarnya, jika jiwa-jiwa itu merindukan Tuhan dan hakikat dirinya sendiri, dengan sendirinya, ia akan melakukan sebuah perjalanan penerbangan dengan akal dan cinta (kalbu) yang dimilikinya.

Sedangkan burung-burung lain yang juga melakukan perjalanan tersebut, yang pada dasarnya terdiri dari berbagai jenis burung yang berbeda-beda, juga mencerminkan hakikat-hakikat manusia yang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda pula. Yang pada dasarnya, hal-hal tersebut seringkali mempengaruhi manusia itu sendiri dalam melakukan perjalanan menuju kebenaran yang hakiki.

Burung Hud hud, yang memimpin perjalanan kerohanian tersebut, adalah melambangkan atau menggambarkan sebuah jiwa manusia yang uncommon, yaitu seorang guru kerohanian atau sufi, yang pada dasarnya telah mencapai tingkatan makrifat yang tinggi.

Simurgh, yang menjadi obyek pencarian dalam perjalanan tersebut, adalah melambangkan hakikat diri manusia itu sendiri, yang juga melambangkan hakikat kebenaran tertinggi. Sebagaimana diceritakan dalam mantiq at tayr tersebut, Simurgh berada di puncak gunung yang tinggi, seperti halnya hakikat diri manusia itu sendiri, yang pada dasarnya memiliki posisi yang tertinggi. Dalam kisah Mantiq al-Tayr tersebut, jumlah burung yang berhasil menjumpai Simurgh berjumlah tiga puluh ekor. Si-murgh, dalam bahasa Persia berarti tiga puluh. Dengan demikian, kisah pencarian para burung ini adalah merupakan kisah penerbangan jiwa-jiwa manusia dalam mencari hakikat dirinya sendiri.

Bukit Qaf, adalah melambangkan suatu pengalaman atau pencapaian tingkat kerohanian yang tertinggi. Dalam sastra sufi, bukit digunakan untuk melambangkan pertemuan antara manusia dengan Tuhan, serta dengan hakikat dirinya sendiri.

Tujuh lembah, adalah melambangkan tahapan-tahapan perjalanan kerohanian jiwa manusia dalam mencapai Cinta Ilahi. Pada tiap lembah atau tahapan perjalanan yang ditempuh, ada banyak tantangan serta pengalaman-pengalaman mistik yang dialami oleh para jiwa yang melakukan perjalanan kerohanian tersebut. Dan, pada setiap lembahnya, jiwa-jiwa manusia itu akan mengalami pengalaman-pengalaman yang berbeda.

Berkaitan dengan lembah terakhir yang dilalui oleh jiwa manusia tersebut, `Attar menuliskan sebagai berikut.

Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa burung-burung itu luluh

Dalam fana, sementara tubuh mereka menjadi debu

Setelah dimurnikan maka mereka menerima hidup baru

Dari Cahaya Hadirat Tuhan yang Baqa

Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba berjiwa segar

Perpuatan dan kebisuan mereka pada masa yang lampau

Telah lenyap dan hapus dari lubuk dada mereka

Matahari Kehampiran bersinar terang dari dalam diri mereka

Jiwa mereka diterangi oleh cahaya petunjuk-Nya

Dalam pantulan wajah tiga puluh burung (si-murgh) dunia

Mereka lantas menyaksikan wajah Simurgh

Apabila mereka memandang ke dalam diri mereka

Ya nampak, itulah Simurgh, bukan lain.

Tidak diragukan bahwa Simurgh ialah tiga puluh (si-murgh) burung

Semua bingung penuh ketakjuban, tidak tahu apa mereka ini atau itu

Mereka memandang diri mereka tiada lain ialah Simurgh[3]

MENITI JALAN CINTA MENUJU ILAHI

Dalam sedikit ulasan mengenai Mantiq at-Tayr di atas, ‘Attar menyarankan agar, dalam kehidupan, manusia hendaknya menempuh jalan cinta. Karena cinta, adalah penawar bagi segala kesedihan, dan merupakan obat dalam dua dunia. Selain itu, cinta juga adalah merupakan penghubung antara kita dan Tuhan kita. Dan ternyata, pengalaman cinta juga dapat membantu kita agar dapat mengenal obyek yang kita cintai dengan lebih mendalam.

Sebelum memulai proses penitian jalan cinta ini, ada baiknya jika terlebih dahulu kita mengetahui tentang konsep dari cinta, serta pembagian-pembagian cinta itu sendiri, yaitu sebagai berikut:

Ø Cinta Ilahi.

Rahmat atau cinta Tuhan terdiri dari dua macam, yaitu:

1. Rahmat atau cinta esensial (rahman), yaitu rahmat atau cinta Tuhan yang dilimpahkan kepada semua makhluq-Nya, tanpa mengenal ras, bangsa, maupun agama.

2. Rahmat atau cinta wajib (rahim), yaitu rahmat atau cinta Tuhan yang hanya dilimpahkan-Nya kepada orang-orang tertentu saja, yaitu mereka yang beriman kepada-Nya.

Ø Cinta Mistikal atau Kesufian atau (cinta pada manusia), terdiri dari dua macam, yaitu:

1. Cinta mistikal atau rohani, yaitu, cinta yang ditujukan kepada Tuhan. Cinta ini, mampu membawa seorang pencinta kepada penglihatan batin yang peka, sehingga mampu menembus bentuk forma kehidupan, untuk menuju kepada yang hakiki, termasuk hakikat ke-Tuhan-an. Cinta semacam inilah, yang mampu mengepakkan sayap jiwa untuk terbang menuju Hakikat Yang Tertinggi.

2. Cinta alami atau kodrati, yaitu, cinta yang ditujukan kepada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Cinta ini, dapat dijadikan sebagai jalan dalam mendaki cinta mistikal atau rohani. Dalam al-Qur’an, cinta alami atau kodrati ini adalah merupakan konsep amar ma’ruf nahi munkar, atau disebut juga dengan solidaritas sosial yang bertujuan untuk membentuk lingkungan masyarakat yang diridhoi oleh Tuhan[4].

Salah satu tujuan manusia dalam melakukan perjalanan rohani dalam cinta, adalah untuk meningkatkan martabatnya, yang selain sebagai hamba Tuhan, juga merupakan utusan Tuhan di bumi.

Pada dasarnya, pengetahuan tentang jiwa manusia sangatlah penting, karena pengetahuan tersebut dapat menyampaikan kita terhadap pengetahuan akan Tuhan. Namun demikian, pengetahuan serta perenungan terhadap diri juga tak dapat dikesampingkan, karena dengannya, juga akan mendatangkan secercah pengetahuan lebih mendalam akan Tuhan.

Salah satu ciri dari cinta sejati dalam makna penglihatan batin, adalah bahwasanya cinta itu mampu menembus bentuk zahir segala sesuatu hingga mencapai hakekatnya yang terdalam. Karena dengan melihat hakekat segala sesuatu, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari orang lain tentang dunia dan kehidupan. Seorang pencinta tidaklah memandang sesuatu hanya dengan menggunakan mata biasa, melainkan dengan menggunakan mata batinnya. Berkaitan dengan ini, `Attar menyatakan demikian:

Ketahuilah wahai yang tak pernah diberi tahu!

Di antara pencinta, burung-burung itu telah bebas

Dari kungkungan sangkarnya sebelum ajal mereka tiba

Mereka memiliki perkiraan dan gambaran lain tentang dunia

Mereka memiliki lidah dan tutur yang berbeda pula

Di hadapan Simurgh mereka luluh dan bersimpuh

Mereka mendapat obat demi kesembuhan mereka dari penyakit

Sebab Simurgh mengetahui bahasa sekalian burung[5]

Rumi mengatakan bahwa untuk memahami kehidupan, manusia dapat melakukannya melalui Jalan Cinta, dan tidak hanya terpaku pada Jalan Pengetahuan. Cinta adalah asas penciptaan kehidupan dan alam semesta. Cinta memberikan dorongan yang kuat untuk mencapai sesuatu. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Menurut Rumi, cinta yang sejati dan mendalam, dapat menghantarkan seseorang terhadap pengenalan hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk fisiknya. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi berpendapat bahwa cinta merupakan sarana terpenting manusia dalam menerbangkan dirinya menuju Yang Esa, Rumi menulis sebagai berikut:

Inilah Cinta: Terbang tinggi melesat ke langit

Setiap saaat ratusan hijab tercabik

Langkah pertama menyangkal dunia (zuhd)

Kemudian jiwa pun berjalan tanpa kaki

Dalam cinta, dunia dan benda telah raib

Segala yang muncul di benak dipandangnya sepi

Kataku, ”Moga bahagia kau, o Jiwa!

Bertandang riang ke negeri para pencinta

Menyaksikan kerajaan tak terpandang mata

Merasakan alangkah lezatnya gairah dalam dada!

Katakan, o Jiwa, dari mana nafas ini datang

Katakan pula o Hati, bagaimana jantung ini bisa berdenyut![6]

Menurut Musliuddin Sa’di Shirazi (571 H), dalam mencintai Tuhan, kualitas cinta manusia diukur berdasarkan tingkat kedekatannya terhadap hal-hal yang bersifat mistis. Cinta adalah sebuah kesetiaan yang luar biasa. Lebih lanjutnya, Sa’di menyatakan:

Orang yang menginginkan keselamatan hidupnya hendaknya tidak memasuki jalan cinta, karena berpikir tentang keselamatan seringkali membelokkan hati dari ketaatan terhadap yang dicintainya. Menjadi budak bagi diri sendiri dapat mengalihkan cinta kepada cara berpikir yang menyesatkan. Seorang pecinta sejati, sekalipun tidak pernah memperoleh kasih sayang yang sesungguhnya, tanpa disadari ia akan mati ketika sedang berusaha meraihnya. Apabila engkau seorang pecinta, kejarlah Kekasihmu, perolehlah apa yang dapat diperoleh, yakni kebahagiaan, atau engkau akan menjumpai kematian di pintu gerbang kerinduan.[7]

Menurut para sufi, dalam tasawuf, cintalah yang mampu membawa seseorang mendekati Tuhannya, karena sifat utama Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Atas dasar itu, menurut para sufi, salah satu jalan terbaik untuk mendekatkan diri terhadap Ilahi, ialah dengan cinta.

Sedangkan, menurut `Attar sendiri, seseorang yang berkehendak untuk menempuh jalan tasawuf, hendaknya mempunyai seribu hati, sehingga, ketika ia mampu mengorbankan salah satu hatinya, ia tetap merasa tak kehilangan yang lainnya. Di sini, Cinta dihubungkan dengan adanya suatu pengorbanan. Dengan demikian, pengorbanan dalam cinta berarti suatu usaha untuk melangkah menuju apa yang dituju, yaitu Cinta Ilahi.

Berkaitan dengan ini, Rumi menuliskan, dalam syairnya yang berjudul Cinta dan Tindakan Batin, sebagi berikut:

Seperti halnya kekuasaan memberi keterangan tentang cinta

Yang membuat kau menyimpulkan adanuya cinta begitulah, jika cahaya Tuhan mencapai indera

Kau tak akan menjadi hamba dari sebab ataupun akibat

Cinta akan memancarkan kilatan cahaya dalam hati

Dan membuat orang yang tercerahkan bebas dari akibat

Dia tak memerlukan lagi alamat atau isyarat cinta

Karena cinta telah mwemancarkan kilauan sinarnya kelangit kalbu[8]

KESIMPULAN

Dari sedikit pemaparan yang telah tercakup dalam rangkaian-rangkaian kalimat di atas, dapat sedikit ditarik kesimpulan bahwasanya untuk mencapai suatu kebenaran yang hakiki serta untuk mencapai Cinta Ilahi, dibutuhkan begitu banyak hal yang harus dilakukan, dalam proses penitian jalannya.

Selain itu, dalam proses penitian jalan dan pencarian yang dilakukan oleh jiwa-jiwa tersebut, ada begitu banyak pengalaman mistis yang dialami oleh jiwa-jiwa tersebut, yang pada dasarnya pengelaman-pengalaman yang dialami itu berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan jiwa-jiwa tersebut.

Dengan demikian, begitu banyak hal yang dapat diperoleh dan diketahui melalui pencarian tersebut, salah satunya adalah untuk mengetahui hakikat kehidupan serta hakikat kebenaran yang sejati, yaitu Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi W.M, Abdul. “Mantiq at-Tayr” Alegori Sufi Fariduddin al-‘Attar. Mata Kuliah

Seni dan Sastra Islam (6).

Hadi W.M, Abdul. Cinta Ilahi dalam Tasawwuf Menurut Fariduddin ‘Attar dalam

‘Mantiq at-Tayr”. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam.

Hadi W.M, Abdul. Puisi-puisi Sufi Arab. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam (5).

Hadi W.M, Abdul. Rumi dan Relevansi Sastra Sufi. Mata Kuliah Seni dan Sastra

Islam. Jakarta: 2005

Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis

Abad Keemasan Islam). Risalah Gusti. Surabaya: 2003.

Hadi W.M, Abdul. Lagu seruling rumi. Matahari. Yogyakarta: 2004.

Dari internet



[1] Abdul Hadi W.M. Cinta Ilahi dalam Tasawwuf Menurut Fariduddin ‘Attar dalam ‘Mantiq at-Tayr”. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam. Hal, 2.

[2] Mehdi Nakosteen. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam). Surabaya: 2003. Hal, 135.

[3] Abdul Hadi W.M. “Mantiq at-Tayr Alegori Sufi Fariduddin al-‘Attar. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam (6). Hal 19

[4] Op. Cit.

[5] Op. Cit.

[6] Abdul Hadi W.M. Rumi dan Relevansi Sastra Sufi. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam. Jakarta: 2005.

[7] Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam). Surabaya. 2003. Hal. 119.

[8] Abdul Hadi. Lagu Seruling Rumi. Yogyakarta: 2004. Hal, 37.

Cinta adalah Mortar dari Semua Do’a


Maulana Syaikh Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani
dalam Mercy Oceans book RISING SUN


Ketika kami menuju ke masjid hari ini, Saya melihat sebuah billboard dengan tulisan, “Setiap Orang Perlu Standard.” Saya tidak mengerti apa maksudnya, tetapi kemudian lampu lalu lintas menjadi merah dan kami berhenti tepat di depan tanda itu. Kemudian Saya perhatikan lebih cermat dan ternyata seseorang telah berbuat iseng terhadap tanda itu dan dengan pulpen dia telah mencoret kata “Standard” dan menggantinya dengan “Cinta, bukan Standard” sehingga billboard itu berbunyi “Setiap Orang Perlu Cinta, bukan Standard”

Jika seseorang membuka diri terhadap hikmah dari segala sisi, sehingga, Subhanallah, vandalisme tadi malah memberi Saya sebuah topik untuk dibicarakan pada hari ini. Ya, orang itu benar, dan ini mengingatkan kita terhadap sabda Rasulullah , ketika beliau berdo’a, “Ya Allah , aku memohon kepada-Mu, anugerahkanlah aku dengan Cinta-Mu dan cinta dari orang-orang yang Engkau cintai. Ya Allah , anugerahkanlah aku dengan perbuatan yang mengantarkan aku kepada Cinta-Mu.”

Memohon kepada Allah untuk membukakan hati kita terhadap Cinta Ilahi-Nya adalah permohonan yang paling penting yang bisa kita lakukan dalam do’a kita, karena tidak ada yang bisa menggantikan tempat bagi cinta. Rasulullah, yang disebut sebagai Kekasih Allah , yang diciptakan dari saripati cinta, dan sangat dicintai Allah sehingga seluruh ciptaan-Nya didedikasikan untuknya--memohon agar dianugerahkan Cinta Ilahi—mengapa? Karena siapa pun yang merasakan cinta itu, pasti akan memintanya lebih banyak lagi. Siapa yang berhati batu tidak akan meminta Allah memberikan cinta ini, tetapi orang-orang yang bisa merasakan cinta itu tahu bahwa itu adalah kunci bagi semua kemajuan spiritual, kunci terhadap rahmat, keindahan, hikmah, dan kunci bagi semua nikmat yang dapat dianugerahkan Tuhan kepada hamba-Nya. Oleh sebab itu Rasulullah mengajarkan setiap manusia apa yang berharga dalam kehidupan ini.

Selanjutnya beliau berdo’a, “dan anugerahkanlah aku dengan cinta dari orang-orang yang mencintai-Mu.” Level pertama, “Cinta Ilahi”, adalah maqam para Rasul, kalian tidak bisa melompat dari tangga terbawah menuju tingkat tertinggi dalam satu langkah. Allah bersifat transendental, kalian bahkan tidak bisa memulai mengukur sesuatu mengenai Allah tetapi mudah untuk mencintai orang yang mewakili Cinta-Nya di antara semua ummat manusia, karena bagi kita sangat lebih mudah untuk mulai mengerti dan mencintai manusia seperti diri kita. Kalian tidak akan menemukan apa-apa dalam hati mereka, kecuali Cinta Ilahi; oleh sebab itu mencintai mereka merupakan suatu jalan untuk mendekati Cinta Ilahi.

Terakhir, Rasulullah memohon kecintaan untuk melakukan perbuatan yang dapat mengantarkannya kepada Cinta Ilahi, perbuatan yang dapat membawa berkah, yang melembutkan hati kita dan melemahkan sifat serakah dan egois. Ini adalah perbuatan yang dianjurkan oleh Tuhan kita melalui teladan dari para Rasul-Nya, perbuatan yang direkomendasikan dalam seluruh Kitab Suci-Nya. Dan, walaupun pada awalnya keadaan diri kita tidak cocok dengan perbuatan mulia ini, dengan menyingsingkan lengan kita terhadap apa yang diridhai oleh Allah , Dia akan memperkuat hati kita.

Ini adalah ketiga tingkatan cinta yang diminta oleh Rasulullah dalam do’anya, dan hikmah yang terpancar dari do’a ini sudah cukup menjadi bukti ketulusan Rasulullah Muhammad . Sementara orang-orang beriman harus selalu memohon cinta itu, Setan selalu menyatakan perang terhadap niat seperti itu, karena dia tahu bahwa bila cinta itu telah memasuki hati salah satu budaknya, dia akan kehilangan budak itu, karena dia tidak dapat menariknya kembali dengan segala kesenangan dunia ini. Orang yang telah merasakan cinta itu bahkan tidak akan memperhatikan kesenangan tersebut, atau hanya menganggapnya sebagai satu tetes dalam samudra.

Suatu ketika Nabi Musa as pergi ke Gunung Sinai, beliau melewati sebuah gua seorang pertapa. Pertapa itu bangkit dan memanggil Nabi Musa, “Wahai Musa, katakanlah kepada Allah agar aku dianugerahkan Cinta Ilahi-Nya, cukup seberat sebutir atom saja.” Nabi Musa mengiakannya. Lalu beliau melanjutkan perjalanannya. Kemudian, ketika Nabi Musa berbicara kepada Tuhannya, beliau menyampaikan do’a pertapa tadi. Allah menjawabnya, “Aku akan memberikannya Cinta Ilahi-Ku, tetapi tidak sebesar yang dia minta. Aku hanya akan memberikan satu bagian terkecil dari sebutir atom cinta itu.”

Ketika Nabi Musa kembali dari gunung, beliau dengan cepat pergi untuk melihat apa yang terjadi dengan pertapa tadi, untuk mengetahui bagaimana efek dari dosis terkecil dari Cinta Ilahi yang bisa terjadi pada dirinya. Ketika beliau tiba, beliau melihat bagian gunung yang menjadi gua itu telah hancur-lebur dan di sana terdapat sebuah jurang yang sangat dalam. Beliau berteriak, “Wahai hamba Allah , apa yang terjadi, di mana kamu?” Lalu Nabi Musa melihat ke dalam jurang dan melihat pertapa itu duduk di sana seolah-oleh dia berada di dunia lain, sepenuhnya tenggelam dalam cintanya.

Mengapa pertapa itu meminta seporsi Cinta Ilahi? Karena dia telah melakukan ibadah, namun tidak merasakan apa-apa, dia merasakan kekosongan dalam hatinya dan hanya bisa dipenuhi dengan cinta itu. Tanpa cinta, ibadah terasa hambar dan tidak berguna; oleh sebab itu, kita harus yakin bahwa ibadah kita didirikan di atas pondasi cinta yang kuat, mengolah cinta itu menjadi dinding dari bangunan yang menjadi praktek ibadah kita. Ini lebih dari sekedar analogi, karena bangunan fisik pun terasa hidup dengan perasaan cinta orang-orang yang membangunnya atau sebaliknya, mati karena kekerasan hatinya… Oleh sebab itu, bangunan tua seringkali menimbulkan perasaan tentram karena cinta dan kebaikan dari orang-orang yang membangunnya. Hal ini khususnya terasa pada masjid atau gereja tua, karena para pendirinya membangun tempat itu dengan alasan yang sama, yaitu mendapat kecintaan Allah dan dengan keshalehan yang tulus. Di masjid-masjid tua sering timbul perasaan Kehadirat Ilahi, tetapi pernahkah kalian merasakan atmosfer seperti itu di masjid dengan arsitektur modern dan steril? Tidak, mustahil, kalian hanya akan merasakan padatnya bangunan beton itu. Mereka telah mengeluarkan cinta dari mortar, bahan paling penting telah hilang.

Nabi ‘Isa membawa Cinta Ilahi—seluruh Rasul membawa aliran Cinta, tetapi sebagian besar orang menjauhi mereka… jadi yang menjadi misi orang-orang suci, seluruh Guru Sufi, jalan surgawi adalah memberikan aliran cinta itu kepada orang yang memintanya.

Hayati - Ibu Rumah Tangga Yang Sufi



Sejak gadis Bibi Hayati lebih mencintai ketenangan, apalagi ketika diperkenalkan dengan sorang sufi oleh kakaknya. Pada akhirnya ia menikah dengan guru sufinya. Perkawinan guru dan murid inilah yang kemudian melahirkan generasi sufi.

Hasratnya akan tarekat semakin menjadi-jadi setelah Rawnaq memperkenalkan kepada guru sufi (mursyid) Nur Ali Syah dari Tarekat Nikmatullah. Bila dibanding dengan gadis seusianya, Hayati lebih mencintai ketenangan dan kesunyian untuk menemukan momen-momen kontemplatif yang dicarinya.

Rupanya ada cahaya spiritual yang muncul dari Nur Ali Syah, yang membuat perubahan pada diri Hayati. Rentetan kegiatan sampai kepada baiat untuk masuk dalam Tarekat Nikmatullah.

Kisah sufi Bibi Hayati, si pemuja cinta hidup dari awal abad 19 sampai pertengahannya. Ia lahir dari keluarga bangsawan di Kota Bam, Provinsi Kerman, Persia Tenggara (kini Iran). Sejak kecil Bibi Hayati diasuh oleh saudara laki-lakinya Rawnaq Ali Syah. Berkat Rawnaq, Bibi Hayati menjadi gadis kecil yang cemerlang. Bakat seni terutama sastra/puisi sudah tampak. Karena keluarganya juga tertarik soal kesufian, maka masalah tasawuf ini dikaitkan juga dengan sastra puisi.

Hubungan murid dan mursyid akhirnya memancarkan daya tarik sebagai insan manusia. Sang guru ataupun sang murid saling tertarik dan melesatlah panah asmara dan jatuh dalam buaian cinta manusiawi. Nur Ali Syah akhirnya meminang Hayati. Justru pernikahan ini menjadikan banyak inspirasi baik sebagai seorang penyair, maupun sebagai seorang sufi. Buah cinta ini membuahkan anak yang diberi nama Tuti.

SYAIR SUFI
Sebagai seorang ibu ia harus praktis untuk mengatur sebuah rumah tangga. Inilah ciri khas Bibi Hayati yang ditawarkannya artinya harus seimbang, harmonis, dunia yang adil bagi alam spiritual dan kemanusiaan. Dunia laki-laki adalah dunia keberanian. Keterlibatan Hayati dalam Tarekat Nikmatullah ya karena suaminya itu. la ikut menata organisasi apalagi ia seorang wanita yang cakap.

Organisasi berjalan baik dan wacana yang baik masuk. Lewat kemampuannya berekspresi dan berapresiasi secara puistis, Hayati memberikan ruang-ruang perenungan teman, dan anggota tarekat untuk lebih mengenal cinta yang utuh. Sebuah cinta yang hadir dari kesadaran untuk mencari kesempurnaan.

Suaminya sendiri kemudian melihat keterlibatan terlalu jauh di tarekat akan mengganggu kreativitas puisi-puisi (syair-syairnya). Syair sufi yang meletup-letup akan sia-sia jika tidak dicatat dalam memoar. Nur Ali menganjurkan agar Hayati menjadi pengarang saja sehingga syair yang dihasilkan utuh dan serpihan yang hilang itu bisa terkumpul.

Untung saja Hayati mendengarkan saran Nur Ali sehingga banyak diwan-diwan (ontologi-kumpulan puisi) yang tercipta.

Kata-kata Hayati tentang suaminya, “Suatu saat raja makrifat itu, sang pembimbing dalam ranah dan jiwa, berucap dengan bibirnya yang berhias permata, di tengah-tengah percakapan kami dan mengatakan, “Jika engkau mesti menghiasi dirimu, engkau harus menjadi penyelam di lautan retorika, memecahkan bait-bait tiram yang berisi mutiara di dalamnya, sampai kau bungkus dirimu dengan jubah berhiaskan mutiara.”

GENERASI SUFI
Diwan yang diciptanya jika dikaji boleh dikatakan sempurna. Pengarangnya menguasai ilmu eksoterik dan esoterik (makrifat). Dia berpegang pada prinsip lahiriah agama, maupun prinsip makrifat di jalan sufi. Bahkan oleh beberapa pihak di kemudian hari watak, dan sifat-sifatnya yang paling cocok menjadi pasangan hidup sang wali quthub.

Dalam mendidik anaknya, rupanya sastra dan sufi masih kental diterapkannya. Anak perempuannya memiliki watak peka seperti ibunya namun juga tegas seperti ayahnya. Namun karena kedekatannya dengan ibunya, maka syair-syair sufi mampu pula dicipta oleh Tuti. Bahkan, karya anak Hayati ini mampu mengungkapkan mistik yang pelik.

Sang anak akhirnya menikah di tahun 1831 dengan Surkh Ali Syah, murid sang ayah. Pernikahan dengan pria asal Hamadan ini menghasilkan anak bernama Sayyid Reza, dan kelak menjadi syaikh dari tarekat Nikmatullah yang terkenal. Sayiid Reza (cucu Bibi Hayati) punya anak Muhammad Said Khusychasm, seorang syaikh yang terkenal di kalangan Nikmatullah. Jadi, Bibi Hayati melahirkan generasi sufi mulai dari anak, cucu dan buyutnya.

Demikianlah anak cucu Bibi Hayati itu lahir dan melengkapi Tarekat Nikmatullah. Dalam kesetiaan dan kedamaian cinta kasih, Bibi Hayati hadir melalui hari-harinya di sana. Hingga suatu saat di pertengahan tahun 1853, Allah SWT memanggilnya pulang keharibaan-Nya.

Kepergian Bibi Hayati menjadi berkah tersendiri bagi kalangan wanita. Apalagi pada awal tahun 1850-an pergerakan wanita di Iran tumbuh subur. Syair-syair Bibi Hayati pun bisa menjadi spirit, membahasakan realita kaumnya dalam kacamata kesufiannya.

The Way of Love: Jalan Cinta Rumi oleh Nigel Watts

Rumi1The Way of Love : Rumi
Menimba Hikmah dari Novel Rumi

Judul buku : The Way of Love: Jalan Cinta RumiRumi2
Penulis : Nigel Watts
Penerjemah : Hodri Ariev
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2003
Tebal : xvi + 237 halaman

Oleh M. Mushthafa

Orang-orang ternama memang kerap menyimpan kisah perjalanan hidup yang menarik. Lika-liku kehidupan mereka penuh romantika, pasang-surut, dan menapaki tangga-tangga proses hidup yang tidak selalu mulus. Buku ini adalah sebuah sketsa biografis Jalaluddin Rumi (1207-1273), seorang sufi besar yang dikenal dengan puisi-puisi cintanya yang memukau. Model penyajiannya yang berbentuk novel menjadi daya tarik tersendiri dari buku ini, bagi peminat sufisme pada umumnya maupun pengagum Rumi pada khususnya.

Novel ini tidak menyajikan seluruh rentang perjalanan Rumi sepanjang hidupnya, tapi lebih menekankan pada romantika persahabatan Rumi dengan Syams dari Tabriz, seorang penyair sufi pengelana. Bisa dimengerti mengapa Nigel Watts, penulis novel ini, memilih untuk membidik segi kehidupan Rumi yang satu ini. Syams adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam perkembangan spiritual Rumi. Bahkan dialah yang mengubah haluan hidup Rumi untuk masuk ke kehidupan sufi.

Kisah novel ini dibuka dengan peristiwa meninggalnya Baha Walad, ayah sekaligus guru pertama Rumi yang sangat dicintai Rumi dan masyarakat kota Konya (sekarang di wilayah Turki), tempat mereka tinggal. Rumi sangat terpukul dengan kematian ayahnya itu. Setelah melewati masa berkabung, tibalah saatnya bagi Rumi untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai syeikh dan pembimbing masyarakat Konya. Rumi merasa tidak siap, sampai kemudian datang Sayyid Burhan, murid dan sahabat ayahnya, yang kemudian menemani Rumi belajar dan menempa diri.

Kehausan Rumi untuk mendalami pengetahuan agama mengantarkannya pada pengembaraan selama tujuh tahun, bersama istri dan anaknya, Burhan, dan
Husam sahabatnya. Rombongan kecil ini berkelana mencari orang-orang saleh untuk menimba pengetahuan dan kebijaksanaan. Di akhir pengembaraan itu, Rumi sempat berjumpa Syams di Pasar Damaskus yang muncul dengan pakaian compang-camping sebagai pengemis.

Tapi kehadiran Syams yang betul-betul menghujam dalam kehidupan Rumi dimulai ketika Syams datang menemui Rumi di Konya, setelah Syams diberi tahu oleh Ruknuddin Sanjabi, seorang saleh, bahwa putra Baha Walad di Konya akan menjadi sahabatnya mendalami rahasia-rahasia besar Allah.

Persahabatannya dengan seseorang semacam Syams memang begitu dirindukan Rumi. Dimulailah kemitraan mereka berdua menggapai jalan cinta menuju Tuhan. Rumi mabuk di jalan itu. Rumi, yang semula seorang fakih terkemuka dan menjadi guru masyarakat kota Konya, meninggalkan jubah keprofesorannya, menyelam ke kedalaman dunia sufi bersama Syams, sang Matahari dari Tabriz. Rumi, yang saat itu hampir mendekati usia 40 tahun, mulai menuliskan puisi-puisi cinta sebagai ungkapan dari penemuan-penemuan mistiknya bersama Syams. Kelak, Rumi menulis sebuah buku berjudul D荢穗 Syams-I Thabr菶 untuk mengenang dan menghormati sahabatnya itu. Karya ini juga diakui menjadi buku pokok untuk memahami ajaran-ajaran sufi Rumi, selain Masnaw・

Namun demikian, kehadiran Syams dalam kehidupan Rumi bagi sebagian masyarakat Konya dianggap sebagai bencana. Syams dipandang menghancurkan kehidupan Rumi, bahkan menjerumuskannya ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak pantas. Misalnya, bersama Syams, Rumi mengembangkan tarian sama・ sebuah gerakan berputar yang diiringi dengan musik yang kemudian menjadi bagian dari tradisi Tarekat Maulawiyah, yang oleh masyarakat Konya dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Kebencian masyarakat Konya terhadap Syams sempat membuat Syams pergi meninggalkan Rumi. Tapi Rumi mencari Syams dan akhirnya kembali ke Konya.
Syams dan Rumi juga pernah diadili di Konya atas dasar tuntutan beberapa masyarakat yang mengeluh atas perilaku mereka.

Akhir yang mengenaskan adalah ketika ternyata Syams dibunuh oleh 但la置ddin dan beberapa santrinya, putra kedua Rumi yang mengkhawatirkan keadaan ayahnya. Sultan Walad, putra sulung Rumi yang menuturkan semuanya. Tapi, rahasia akhirnya tersingkap. Dalam keterpukulan Rumi atas tragedi besar itu, tumbuhlah rasa tawakal dan kesadaran baru bahwa kematangan spiritual dirinya memang harus melewati ujian perpisahan dengan Syams tercinta.

Ini kemudian dirumuskan dalam teori Rumi tentang kefanaan, yang diungkapkan sebagai berikut:

“Apakah arti ilmu tauhid? Hendaklah kau bakar dirimu di hadapan Yang Maha Esa. Seandainya kau ingini cemerlang bagai siang hari, bakarlah eksistensimu (yang gelap) seperti malam; dan luluhkan wujudmu dalam Wujud Pemelihara Wujud, seperti luluhnya tembaga dalam adonannya.”

Meski tidak memuat seluruh perjalanan hidup Rumi, buku ini menjadi sangat menarik dalam formatnya sebagai novel. Dengan gaya bertutur yang lincah dan menggugah, kisah hidup Rumi menjadi lebih tersaji dengan penuh kedalaman dan detail yang menyentuh. Sebagai sebuah buku biografi, tidak salah bila Nigel Watts memilih format novel, karena dengan begitu akan bisa menampung dimensi-dimensi emosional dan kedalaman perasaan yang juga lekat dalam ajaran-ajaran dan dunia sufisme. Pembaca akan lebih mudah terlibat dalam suasana hidup tokoh yang dikisahkan, masuk ke dalam kemelut perasaan dan pergolakan batinnya. Mutiara kebijaksanaan akan lebih mudah ditemukan dalam ungkapan-ungkapan yang menyapa hati, seperti dalam novel ini.

Pemilihan fokus cerita pun sangat tepat. Sosok Syams dari Tabriz yang begitu dicintai dan dihargai Rumi bisa menjadi isyarat betapa memang benar bahwa Syams telah mengubah hidupnya. Perjumpaan, persahabatan, ketulusan, dan perpisahan Rumi dengan Syams dapat menjadi cermin cemerlang yang memberi kemilau permata hikmah hidup yang fitri. []

Rabu, 11 Maret 2009

Kisah para sufi

Banyak yang kita bisa dapatkan dari para sufi, dan kita hendaknya memahami apa yang mereka ajarkan pada kita. Baik itu dari sisi dunia dan hari akhir, para sufi mengajarkan pada kita bagaimana cara untuk mendekatkan diri pada Allah dengan rasa takut, rindu, dan cinta. Ajaran para sufi ini hanyalah bagaimana agar kita bisa makin larut dan cinta pada Allah dan menghindar dari indah dunia yang membuai tiap insan menjadi lalai dari mengingat Allah, dan sungguh pun saya sendiri masih belum bisa untuk menjalani kehidupan yang zuhud dalam artian selalu mengingat-Nya. Disaat sekarang banyak manusia yang melalaikan semua ajaran-ajaran yang islami, hal ini terjadi karena banyak dari kita terbuai oleh dunia yang mempesona tiap insan didalamnya. Kita banyak yang takut akan kematian dengan berbagai alasan, semua itu bermuara kepada hal kita begitu mencintai dunia dan melupakan Allah penguasa alam semesta.
Kenapa kita hanya disibukkan dengan urusan dunia? Itu hanya karena kita tidak menyadari bahwa kita hidup hanyalah sementara sedangkan kehidupan setelah mati itu kekal. Dan itulah yang diajarkan para sufi pada kita sebagai muslim, mereka juga tidak meninggalkan dunia karena mereka juga manusia seperti kita hanya saja mereka lebih mendekatkan diri kepada Allah dan mencintai Allah. Tujuan dari tulsan ini hanyalah agar kita menjadi semakin dekat dengan Allah tanpa harus meninggalkan dunia, dan jika kita makin dekat dengan-Nya niscaya Ia lebih dekat dengan kita sebagai makhluk yang diciptakannya-Nya
Saat sekarang ini kita hanya menjadi larut dengan segala kesibukan dunia, dan melupakan apa yang harus kita ingat yaitu Allah. Marilah kita teladani kehidupan para sufi dan mengambil semua yang mereka ajarkan pada kita, dengan tujuan kita makin dekat dengan-Nya dan menjadi hamba yang selalu berjalan sesuai dengan apa yang Rasulllah ajarkan. Kita hendaknya kembali kepada Al-Qur'an dan sunnah agar kita menjadi hamba yang dicinta oleh-Nya, karena cinta yang Ia beri pada kita sungguh tiada bisa kita membalasnya dengan apa pun di dunia ini.

Belajar Dari Kearifan Para Sufi

8 April 2007 jam 08:58am Sybth Tarmasa

Maaf bila cerita ini kedengaran kuno dan membosankan. Seorang teman pernah berkomentar, ” Sudahlah, tak usah kau ceritakan lagi, bosan mendengarnya”. Ada juga yang bilang, ” Apa tidak ada cerita yang lebih baru ?”. Tapi tidak sedikit yang menginginkan cerita ini dikemas lebih menarik agar tetap diminati dan bisa memberi kesadaran baru bagi si pembaca.

Walau cerita ini diadaptasi dari sumber-sumber sekunder, seperti buku cakrawala sufi 1 ( Anand Krishna), tetap tidak mengurangi esensi dari cerita itu sendiri dan tetap memiliki cita rasa beda, sebagaimana cerita sufi pada umumnya, yang tak ubahnya seperti oase di padang sahara, mampu memberi gairah baru menuju penemuan diri, kesadaran diri dalam memaknai hakekat hidup.

Sang Bunga Mawar.

Diantara sekian banyak tokoh sufi, Syaikh Abdul Qadir Jailani barangkali yang paling akrab dengan dengan indra pendengaran kita. Suatu ketika, saat beliau hendak berkunjung ke kota Baghdad, segenap penduduk kota itu dihinggapi rasa cemas. Sebagai kota yang dikenal banyak dihuni para cendekiawan, Ulama dan Ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, kedatangannya jelas tak dibutuhkan. Anggapan ini muncul karena ketakutan yang berlebihan, bahwa kehadirannya akan menjadi pesaing bagi mereka.

Atas desakan ilmuwan dan agamawan, pemegang otoritas kota kemudian mengutus seorang kurir untuk mengantarkan cawan berisi air agar disampaikan kepada Syaikh Abdul Qadir yang masih berada di luar kota. Cawan berisi air itu sebagai tanda bahwa kota Baghdad sudah penuh sesak dengan para ilmuwan dan tokoh agama hingga kehadirannya tidak dibutuhkan.

Beliau paham betul pesan di balik secawan air yang dikirim kepadanya. Ia kemudian mengambil setangkai setangkai bunga mawar dan meletakkannya di atas air, seraya meminta si kurirmembawa kembali cawan itu. ” Tolong kembalikan cawan ini kepada mereka yang mengutusmu kemari”. Demikian pesan Syaikh kepada si kurir

Sesampai di kota, para cendekiawan dan pemuka agama dibuat terkejut melihat si kurir membawa kembali cawan tersebut. Menyaksikan keelokan bunga mawar di atas cawan dan harum wangi yang dibawanya, membuat mereka sadar bahwa kehadiran seorang bijak bagai bunga mawar yang tak akan membebani siapapun. Kebijakan seorang sufi justru menawarkan kegairahan dan kesegaran baru, bagai air yang tak lagi tawar karena aroma mawar di atasnya.

Bekerja Tanpa Pamrih.

Cerita ini cukup populer di dunia sufistik. Dalam sebuah perjalan sebuah inspeksi ke beberapa daerah, seorang khalifah sebuah negri melihat seorang petani tua sedang menyirami tanaman anggur di kebunnya. Sang khalifah kemudian menghampiri si petani dan menegur, ” Tahukah bapak, bahwa jenis anggur yang bapak tanam adalah jenis anggur yang khas dan langka serta tidak akan berbuah sebelum usia di atas 6 tahun”. Si petani menjawab, ” Benar paduka. Jenis anggur ini memang lama berbuahnya, bahkan bisa sampai 7 tahun baru berbuah”. ” Dan kau tetap tanam?”, tanya khalifah heran. ” Ya paduka, karena jenis ini adalah jenis anggur terbaik”, jawab si petani.

Khalifah kemudian turun dari kuda menghampiri petani sambil menepuk pundaknya dan mengatakan, ” Temanku, Maha Besar Allah. Semoga Allah menganugerahimu usia panjang. Karena bagaimanapun, bisa jadi lusa kita tak pernah lagi bertemu. Jadi, apa sebenarnya yang membuat bapak tetap menanam anggur yang belum tentu bapak nikmati?”.

“Paduka, memang benar adanya. Mungkin saya tak akan menikmati hasil tanaman ini. Bisa jadi saat tanaman ini berbuah saya sudah meninggal. Namun kematian saya tidak berarti berakhirnya kehidupan dunia ini.. Anak cucu saya, tetangga dan teman-teman saya, diantara mereka pasti ada yang masih hidup. Kelak merekalah yang akan menikmati hasilnya”. Demikian penjelasan petani kepada sang khalifah.

Sang khalifah terharu.” Maha Besar Allah. Kau berhati mulia. Kau melakukan sesuatu tidak untuk dirimu sendiri. Kau bekerja tanpa pamrih. Teman, kelak jika tanaman ini berbuah dan kita masih hidup, bawakan saya sekeranjang hasil tanamanmu, sebagai saksi persahabatan kita ini”. Begitu khalifah menutup perjumpaannya dengan si petani tua itu dan pergi melanjutkan perjalanan.

Konon beberapa tahun kemudian, tanaman anggur itu berbuah. Petani itu kemudian menyiapkan sekeranjang anggur untuk sang khalifah, sebagaimana permintaannya dulu. Diceritakan oleh para ahli hikmah, khalifah sangat menghargai ketulusan jiwa petani itu. Ia sangat mengagumi kedermawanan dan perbuatannya yang tanpa pamrih. Setelah memindahkan anggur ke wadah yang terbuat dari emas, beliau memerintahkan kepada mentrinya untuk mengisi keranjang itu dengan emas permata dan memberikannya kepada si petani, sebagai imbalan atas kebaikannya yang memberi inspirasi bagi sebuah keteladanan yang patut ditiru.

Sementara itu, cerita ini tersebar ke seantero negri dengan berbagai macam versi. Bahkan beredar cerita bahwa khalifah sangat menyukai jenis anggur yang dihadiahkan kepadanya, hingga berani membayar mahal.

Seorang petani lain, yang kebetulan mendengar cerita versi terakhir, langsung menyiapkan sekeranjang anggur jenis yang sama untuk dihadiahkan kepada khalifah. Dan sudah tentu, dengan harapan ia akan mendapatkan seperti apa yang telah didapat petani tua itu. Sayang, ia tak mendapatkan apa yang diinginkannya. Khalifah memahami kekecewaan si petani dan berkata,”Petani tua itu bekerja tanpa pamrih. Kedatangannya kemari juga tanpa harapan apapun. Ia menghadiahkan anggur itu kepada saya. Kamu lain. Kamu kesini dengan harapan. Kamu berdagang dengan saya. Itulah letak perbedaannya. Namun demikian, saya tetap hargai lebih apa yang kau bawa. Janganlah mengharap imbalan yang sama dengan petani tua itu. Kamu belum, memiliki jiwa dan semangat bekerja tanpa pamrih”.

GAIRAH MALAM PARA SUFI


By : M. Maulana Nur Kholis *

“Waktu adalah pedang” begitulah pepatah arab mengatakan. Ini menunjukkan bahwa selamat tidaknya seseorang hidup di dunia tergantung dari kehidupannya dalam memanfaatkan waktu, bahwa standar seseorang dikatakan untung atau rugi adalah dari kepandaiannya dalam memanfaatkan waktunya, makanya ada hadits yang mengatakan: “barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia termasuk orang yang rugi”. Waktu adalah karunia allah swt yang sangat mahal. Dalam alqu’ran saja allah swt bersumpah dengan menggunakan waktu. Secara nominal alqur’an menyebutkan malam (al lail) 73 kali, siang (an nahr) 53 kali, pagi (al ghuduw) 3 kali, pagi (bukrotan) 7 kali, petang (al ashal) 3 kali, petang (al ashilan) 4 kali, petang (as syiyan) 2 kali, as shubh 4 kali, al fajr 6 kali, jumlah keseluruhan adalah 155, plus sekali penyebutan al ashr (masa). Dari penghitungan tersebut penyebutan kata malam (al lail) adalah penyebutan terbanyak, ini mengisyaratkan bahwa waktu malam merupakan waktu yang spesial, waktu yang berbeda dengan waktu yang lain, waktu yang mana allah swt meletakkan dan memberikan sesuatu yang istimewa di waktu malam, oleh karena itu kita kenal malam lailatulqadar, malam yang mana allah swt memberikan kebaikan atau pahala lebih baik dari ibadah seribu bulan. Oleh karenanya juga kita kenal qiyamullail (shalat malam), yang mana nabi Muhammad saw. Bersabda : “ Allah swt turun ke langit bumi ketika sepertiga malam terakhir dan berkata : siapa yang berdo’a akan saya kabulkan, siapa yang meminta akan saya beri dan siapa yang meminta ampun akan saya maafkan “.

Waktu malam juga merupakan waktu yang sangat penting bagi suami istri, bagi pria dan wanita. Bagi mereka waktu malam adalah waktu yang sangat tepat untuk berkencan, untuk berduaan, untuk bernostalgia, untuk beromantis, untuk bercinta bahkan untuk bersenggama. Andaikata waktu malam banyak dihabiskan bagi mereka berdua untuk bercinta, bernostalgia dan lain sebagainya sebagaimana dilakukan banyak orang pada umumnya (awam), maka berbeda dengan kaum sufi, para ulama’ dan salafussalihin (khowas), waktu malam bagi meraka banyak digunakan dan dihabiskan untuk ibadah, mereka habiskan untuk bernostalgia, bercinta dan berdua dengan allah dengan shalat malam, berdzikir, bermunajat, berkholwat dan berdo’a, mereka tidak ingin waktu malam yang singkat ini berlalu begitu saja tanpa makna, oleh karena itu kita lihat para kaum sufi sejati mulai dari nabi Muhammad saw, para sahabat, tabi’in dan para ulama’ hatta nabi-nabi terdahulu sangat memperhatikan waktu malam dalam membagi, menggunakan dan memanfaatkannya dengan berbagai amal ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada allah swt. Nabi saw bersabda : “ sebaik-baik shalat di sisi allah adalah shalat nabi dawud as dan sebaik-baik puasa di sisi allah adalah puasa nabi dawud as yaitu : setengah malam untuk tidur dan sepertiga malam untuk shalat …..”.

Ketika sang surya mulai tenggelam di ufuk barat, kaum sufi mulai membuka sajadah, kegembiraan mereka mulai bersinar, semangat dan gairah mereka mulai memuncak, dan apabila fajar mulai terbit kegembiraan mereka mulai surut, kesedihan menyelimuti mereka sampai-sampai ada yang bosan hidup gara-gara terbitnya fajar. Ali bin bakar berkata : selama empatpuluh tahun tidak ada yang membuat saya sedih kecuali terbitnya fajar. Al fudail bin I’yad berkata : ketika matahari mulai tenggelam, saya merasa gembira dengan kegelapan karena dapat berdua (kholwat) dengan allah, dan ketika fajar mulai terbit saya merasa sedih karena banyaknya orang yang berbondong-bondong ke saya yang dapat menggangu ibadah saya. Abu sulaiman berkata : mereka yang ahli qiyamullail di waktu malam lebih nikmat dari mereka yang berfoya-foya dengan kesenangannya, andaikata tidak ada malam saya benci hidup di dunia.

Tentang betapa pentingnya waktu malam untuk digunakan qiyamullail (shalat malam) dapat kita lihat dari ahwal kaum sufi yang sangat antusias, semangat dan bergairah dalam menghabiskan waktu malamnya untuk qiyamullail, semisal nabi Muhammad saw karena saking seringnya qiyamullail sampai kaki beliau bengkak/terbelah, lalu ditanya : kenapa anda melakukan itu padahal dosa anda sudah diampuni allah ? nabi menjawab :” apakah salah kalau saya menjadi seorang hamba yang besyukur “. Syaidah Aisyah ra ditanya tentang shalat nabi di waktu malam, beliau menjawab : shalat nabi terkadang tujuh raka’at, Sembilan raka’at, sebelas raka’at. Ibnu abbas ra juga pernah ditanya tentang shalat nabi, beliau menjawab : shalat nabi tigabelas raka’at.

Kalau nabi saw saja begitu semangat dan istiqomah dalam qiyamullail, maka para shahabatpun tidak ketinggalan sampai-sampai dijadikan sebagai competisi dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Malaikat jibril pernah berkata kepada nabi : sebaik-baik hamba adalah Ibnu Umar andaikata mau shalat malam, lalu nabi memberitahu ibnu umar berita tersebut, dan setelah itu ibnu umar tidak pernah meninggalkan shalat malam. Nafi’ berkata : setiap kali ibnu umar sedang qiyamullail beliau meminta saya untuk mengingtkan waktu sahur, dan ketika sudah masuk waktu sahur beliau duduk lalu membaca istigfar sampai terbit fajar. Shahabat nabi Mu’ad bertanya kepada Abu Musa : apa yang kamu perbuat di waktu malam ? abu musa menjawab : saya shalat malam dan tidak tidur dan membaca al-quran sebanyak-banyaknya, lalu mu’ad menyahut : kalau saya, saya bagi malam saya untuk tidur dan untuk qiyamullail dan saya niati tidur saya untuk qiyamullail, lalu mereka menceritakan kepada nabi, lalu nabi menjawab : mu’ad lebih pandai dari kamu. Shahabat nabi Salman suatu hari bertamu ke rumah abu darda’, lalu istri abu darda’ memberitahu salman bahwa abu darda’ kalau siang berpuasa dan kalau malam beliau qiyamullail, kemudian di suatu malam abu darda’ pergi untuk qiyamullail lalu salman berkata : tidurlah dulu !, lalu beliau tidur kemudian pergi lagi untuk qiyamullail, lalu salman berkata : tidurlah dulu !, lalu beliau tidur, dan ketika mulai shubuh mereka bangun dan shalat bersama kemudian salman berkata : sesungguhnya badanmu punya hak, tamumu juga punya hak, keluargamu juga punya hak, maka berikanlah segala sesuatu sesuai dengan haknya, lalu meraka bercerita kepada nabi lalu nabi menjawab : benar apa yang dikatakan salman.

Kalau para shahabat nabi berlomba-lomba dalam qiyamullail, maka para tabi’in dan salafussalihin tidak kalah dengan mereka. Semisal, Abu al juwairiyah berkata : selama enam bulan saya bertemu abu hanifah saya tidak pernah melihat beliau meletakkan punggungnya di atas bumi. Abu hanifah kalau malam menghabiskan setengah malamnya untuk qiyamullail, kemudian suatu hari beliau bertemu dengan suatu kaum, mereka berkata : orang ini menghabiskan seluruh malamnya untuk qiyamullail, lalu beliau berkata : saya merasa malu kalau orang membicarakan tentang saya yang tidak saya perbuat, setelah itu beliau menghabiskan seluruh malamnya sampai-sampai diriwayatkan beliau tidak punya ranjang untuk malamnya. Ar rabi’ berkata : hampir setiap malam saya bermalam di rumah imam syafi’i, saya melihat beliau tidak pernah tidur malam kecuali sebentar. Diriwayatkan juga bahwa imam syafi’i membagi malamnya menjadi tiga bagian : sepertiga malam untuk muthola’ah dan muraja’ah, sepertiga malam untuk sholat malam, dan sepertiga malam untuk tidur. Suatu malam Sufyan at tsauri merasa kenyang lalu berkata : himar (keledai) kalau makannya ditambah, maka geraknyapun juga bertambah, lalu malam itupun beliau shalat malam sampai pagi. Al fudail berkata : saya akan menyambut malam dengan lamanya dan saya akan mulai dengan al quran sampai pagi dan saya tidak akan memenuhi keinginan nafsu saya.

Dari sekilas hikayat ahwal kaum sufi sejati mulai dari nabi saw, para shahabat, tabi’in dan salafussalihin dapat kita lihat betapa spesialnya waktu malam bagi mereka sampai ada yang menghabiskan seluruh waktu malamnya. Imam al qhozali membagi mereka yang menggunakan malamnya untuk qiyamullail menjadi tujuh level : (1).Level pertama mempergunakan seluruh malam untuk qiyamullail, mereka inilah yang shalat shubuh dengan wudlu isya’. (2).Level kedua mempergunakan setengah malam untuk qiyamullail. (3).Level ketiga mempergunakan sepertiga malam untuk qiyamullail. (4).Level keempat mempergunakan seperlima atau seperenam malam untuk qiyamullail. (5).Level kelima tidak memperhatikan waktunya, akan tetapi mulai qiyamullail sejak malam yang pertama sampai terasa ngantuk, lalu bila sudah bangun berdiri lagi untuk qiyamullail dan jika masih ngantuk kembali lagi ke ranjangnya. (6).Level keenam berdiri untuk qiyamullail kira-kira empat /dua raka’at atau duduk sesaat untuk berdzikir. (7).Level ketujuh dan yang terakhir qiyamullaail ketika sebelum shubuh yaitu ketika waktu sahur.

Kalau seperti itu ahwal mereka dalam memanfaatkan malamnya untuk qiyamullail, lalu bagaimana dengan kita, apakah hanya tidur saja ataukah hanya bergadang ? ala kulli hal walaupun kita tidak dapat menggunakan seluruh malam untuk qiyamullail setidaknya kita tidak melalaikan shalat malam walau hanya seraka’at atau dua raka’at mengingat begitu istimewa dan pentingnya qiyamullail (shalat malam). Semoga kita menjadi hamba yang dapat beristiqomah (kontinyu) dalam qiyamullail walau hanya sesaat semoga !.

*penulis adalah warga jatmnu yang cinta para sufi tapi bukan seorang sufi.