Senin, 18 Mei 2009

Tuhan di Mata Para Filosof

Diskusi tentang hubungan antara agama dan filsafat, adalah diskusi yang berumur panjang. Sebagian kalangan memandang keduanya merupakan dua entitas yang saling memusuhi. Yang lain menganggapnya sebagai dua lanskap yang tidak berhubungan, namun sebagian lagi justru menganggap keduanya merupakan dua hal yang saling melengkapi.

Pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah akal manusia dapat menjangkau Tuhan secara murni tanpa sinaran wahyu yang nota bene dimiliki oleh agama? Beragam jawaban pernah muncul dalam sejarah. Sebagian filosof mengklaim bahwa akal saja sudah cukup untuk menemukan Tuhan, namun yang lain menyanggah dengan dalih bahwa akal terbiasa berpikir dengan kategori-kategori sementara tuhan adalah samudera eksistensial yang tidak bertepi. Dalam buku ini tampaknya Gilson memilih jawaban kedua. Bahwa akal saja tidak cukup sebagai alat untuk menjangkau Tuhan. Hal ini terbukti, menurut peneyelidikan Gilson, dari fakta sejarah yang ada. Sejak zaman Yunani yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya model pemikiran filsafat, gagasan tetang Tuhan tidak dapat dirumuskan secara memuaskan oleh akal.

Pada zaman Yunani Thales memunculkan gagasan bahwa asal mula dunia adalah air tetapi ia masih dibingungkan oleh pemikiran antara air sebagai dewa dan hanya unsur pertama alam semesta. Bahkan Plato maupun Aristoteles, menurut Gilson, tidak berhasil merumuskan gagasan tentang tuhan.

Dalam pemikiran Plato, misalnya, menurut Gilson, para dewa memiliki kedudukan yang lebih rendah ketimbang Ide. Matahari dianggap Plato sebagai dewa. Namun, Matahari, yang merupakan dewa itu merupakan anak Kebaikan, yang bukan dewa. Begitu juga dengan Aristoteles, meski secara cemerlang menemukan gagasan tentang penggerak pertama (prime mover), tetapi ia tidak berhasil menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan penggeran pertama tersebut. Dan kekaburan rumusan itu terus saja berlangsung sampai agama Yahudi muncul. Pertanyaan tentang tuhan yang selama ini remang berubah ketika Musa, melalui wahyu yang diterimanya, mewartakan tentang tuhan sebagai yang satu yang bernama Dia adalah Dia. Sejak masa inilah gagasan tentang tuhan menemukan jawaban yang terang.

Agama memang bukan filsafat, tetapi ajaran agama, menurut Gilson, mengajukan prinsip-prinsip filosofis yang kaya. Karena itu, ia dapat membantu perncarian akal terhadap tuhan. Arogansi akal untuk dapat secara mandiri menemukan tuhan tanpa sinaran wahyu, adalah sesuatu yang naïf. Dan hal itu telah terbukti dalam pencarian para filosof Yunani bahkan ketika Descartes berusaha memisahkan filsafat dari agama.

Usaha Descartes menghasilkan sebuah paradoks, sebab sebagai penganut agama Kristen yang taat tuhan Descartes adalah Tuhan Kristen, tetapi sebagai filosof tuhan yang diyakini adalah tuhan yang semata berfungsi sebagai katalisator dalam dunia Cartesian, yang mekanik. Inilah yang kemudian memunculkan kritikan terkenal dari Pascal, “Saya tidak dapat memaafkan Descartes. Dalam seluruh filsafatnya, dia tampaknya sudah siap meningkirkan Tuhan. Namun, dia ‘membuat’ Tuhan memberikan suatu perangsang agar dunia ini bergerak; di luar hal ini dia tidak lagi membutuhkan Tuhan” (hlm. 222)

Meski begitu, menurut Gilson, masih terdapat Tuhan dalam filsafat Descartes. Ini berbeda dengan perkembangan dalam filsafat kontemporer yang sepenuhnya dibawah dominasi Imanuel Kant dan August Comte. Dalam pandangan keduanya pengetahuan direduksi menjadi sekedar pengetahuan ilmiah dan gagasan tentang itupun masih direduski lagi menjadi intelejibilitas yang dipersiapkan oleh Newton.
Akibatnya, gagasan tentang Tuhan dalam filsafat ini dianggap sebagai omong kosong. Sebab Tuhan bukan objek pengetahuan empiris. Bagaimanapun cara pandang terhadap fakta, pasti tidak ada fakta yang dapat mendukung gagasan tentang Tuhan. Lalu masih relevankah berbicara tentang Tuhan ketika sains—yang merupakan salah satu pengejawantahan filsafat kontemporer—sudah sanggup menyibak berbagai selubung misteri dan menjungkalkan mitos tentang alam semesta?

Terhadap gugatan yang sering dimunculkan para saintis ini, Gilson menilai pernyataan semacam itu muncul karena ketidaksiapan menerima kenyataan bahwa agama dan filsafat (juga sains) adalah dua lanskap yang seharusnya dapat bertemu. Karena sains menjawab pertanyaan tentang bagaimana sedang agama menjawab tentang mengapa. Hanya saja tidak banyak orang yang berani mengakuinya. Para sains atau filosof kontemporer yang terpikat oleh daya pesona rasio kehilangan selera terhadap metafisika dan agama. Sementara yang lain, karena terlalu khusuk dalam berkontemplasi menyadari bahwa metafisika dan agama seharusnya dapat dipertemukan tetapi tidak tahu di mana dan bagaimana. Karena itu ada yang kemudian memisahkan agama dari filsafat, atau meninggalkan agama demi fisafat atau sebaliknya. Padahal hal tersebut, dalam pandangan Gilnson tidak perlu terjadi. Dan menurutnya orang yang dapat melakukan hal itu adalah mereka yang dapat menyatukan bahwa Tuhan filosof adalah tuhan yang juga dipeluk oleh Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub.

Begitulah, buku yang ditulis oleh seorang filosof dan sejarahwan filsafat dari Prancis ini tidak saja menekankan perlunya sinergi agama dan filsafat untuk memahami alam dan Tuhan, tetapi juga menawarkan tamasya yang mengasyikkan dengan menelusuri sejarah gagasan tentang Tuhan sejak masa awal yang dapat dicatat sejarah. Namun buku yang ditulis oleh pengajar di Universitas Strasbourg, Universitas Paris, College de France dan Universitas Harvard ini tidak terjebak pada deskripsi membosankan layaknya buku-buku filsafat. Sebaliknya, dengan gaya yang rileks ia mendedahkan pergumulan pemikiran tentang Tuhan, menelisik asumsi-asumsi yang bersembunyi di belakang gagasan besar, melemparkan kritik terhadapnya, mengurai kondisi sosial para pemikirnya serta bangunan sistemnya secara keseluruhan. Dengan cara itu, Gilnes dapat memberikan potret yang utuh perkembangan gagasan tentang Tuhan pada tiap babakan: Yunani, Abad pertentengahan, Abad Modern, dan era Kontemporer.

Buku ini patut dibaca oleh semua yang memiliki concern terhadap kajian filsafat, termasuk filsafat Islam. Sebab filsafat Islam juga tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Yunani. Lahirnya aliran filsafat paripatetik, iluminasi, atau yang lain merupakan bentuk penafsiran yang diberikan oleh filosof Muslim terhadap pemikiran Yunani. Gagasan tentang Filsafat Cahaya oleh Suhrawardi, teori emanasi oleh kalangan Neo-Platonisme, konsep insan kamil oleh para mistikus, misalnya, merupakan hasil proses dialektik yang dilakukan oleh para filosof muslim berdasarkan ajaran agamanya dengan konsep-konsep para Filosof agung Yunani semisal Plato, Aristoteles atau Plotinus.

Meski seperti pola kebanyakan sejarahwan yang selalu melewatkan babakan sejarah filsafat Islam, rasanya tetap terlalu sayang kalau buku yang diterjemahkan dari judul aslinya God and Philosophy ini dilewatkan. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar